Marhaban Ya Ramadhan

Jika pada hari-hari biasa kita senantiasa melampiaskan, atau paling tidak mengendalikan “Ya”, maka pada Bulan Puasa kita melatih “tidak”. Tentu saja bukan hanya tidak makan, tidak minum, dan tidak banyak omongin orang, tapi termasuk tidak ramai, tidak ribut, tidak gegap gempita, serta tidak berlebihan mempersiapkan makanan untuk berbuka puasa.

Puasa sejatinya merupakan perjalanan menuju kesunyian, lalu menghayatinya, kemudian menemukan nikmatnya. Mereka yang menyambut Ramadhan dengan menyelinap memasuki bilik kesunyian, mungkin akan belajar membuka telinga batin sehingga mereka mendengar suara-suara setan dan iblis. Kalau suara Allah, para Rasul dan Nabi, mungkin kita (terutama saya) kurang cukup bersih untuk menangkap frekuensi itu. Alhasil mendengar suara setan saja Alhamdulillah rasanya.

Menjelang hari pertama Ramadhan ini saya mendengar suara setan, sayup-sayup ia bersuara berikut dialog antara setan
Setan 1 :“Baru mau Puasa aja kok, suasananya lebih ribut
dibanding bukan bulan Puasa, puasa apaan tuh?”
Setan 2 :“Aneh, puasa kok anggaran belanja makanan dan minuman keluarga malah lebih meningkat, katanya ingin merasakan segala akibat lapar seperti sesamanya yang kurang beruntung”
Setan 3 :“Bersyukurlah saudara-saudaraku, bukankah itu berarti kita telah sukses menjalankan visi-misi kita”
Setan 1 :“Untuk melakukan keributan yang merusak kekhusyu-an Ramadhan, manusia gak perlu kita provokasi kita, manusia itu kini sudah cerdas, jika sekedar mengotori hidupnya sendiri maka sudah jauh melebihi target maksimal nenek moyang kita”
Setan 3 :“Kalau bicara soal kecerdasan menurut saya manusia itu tolol, buktinya; untuk tidak mencuri, mabuk, berzina mereka perlu Kitab Suci Allah, mana bisa mereka menemukan sendiri dengan nurani dan akal sehatnya“
Setan 2 :Betul itu, malahn untuk tidak korupsi, dan tidak menindas rakyat mereka membuat konstitusi dan hokum formal, itupun belum tentu mereka patuhi”
Setan 1 :“Iya ya. Mereka sudah matang dan dewasa serta canggih menjalankan sitem dan budaya penghancur kehidupan anak cucu mereka sendiri. Meskipun Tuhan mengizinkan ada tsunami terjadi, meskipun tanah bumi diretakkan dan disemburkan lumpur yang dahsyat, meskipun gempa disebar, manusia sudah terlanjur tidak memiliki alat di dalam diri dan system kebersamaannya untuk belajar dari bencana-bencana itu. Setiap bencana hanya melahirkan; Politisasi bencana, Komoditi bencana, dan wisata bencana. Mereka sesungguhnya tidak mengerti Ramadhan …….”

Marhaban Ya Ramadhan


Saya termangu bisu, dan menjadi ragu. Itu semua suara setan atau malaikat, atau bahkan isyarat dari Tuhan sendiri?
(dikutip dari Jejak Tinju Pak Kiai-Emha Ainun Nadjib, dengan perubahan semau saya, maaf ya, Cak Nun)

Kang Sofyan beserta keluarga mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa kepada anda yang beragama islam. Mohon dimaafkan segala kesalahan yang telah kang Sofyan perbuat, baik yang di sengaja ataupun yang tidak di sengaja.

Semoga dengan datangnya Ramadhan tahun ini, kita bisa menjadi insan yang bertakwa. amiin.

Dapodik Pindah Alamat

Tahun Ajaran Baru, bagi saya identik dengan kesibukan, mulai dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berlanjut ke hal yang berkaiitan dengan pendataan siswa tersebut, sampai pada persiapan administrasi kelas dan banyak lagi.

Yang menjadi persoalan adalah, dulu saat mengikuti sosialisai tentang Dapodik. Saya juga teman-teman diberikan alamat situs untuk mengakses Dapodik, lalu agar saya mudah mengaksesnya dengan segera saya buat Link dari blog ini, dan setelah saya coba klik untuk mengaksesnya, berhasil.

Beberapa bulan berlalu, ketika saya coba mengaksesnya kembali, eh .... error. hal serupa terulang sampai akhirnya saya bosan, dan membiarkannya. Pada saat saya browsing iseng-iseng mencoba tanya tentang Dapodik dimaksud ke mbah Google. Apa yang terjadi ..... rupanya situs Dapodik pindah alamat. Nah bagi teman-teman yang senasib dengan saya coblah klik disini. Semoga bermanfaat

Facebooknya Indonesia!

Sudah saatnya bergabung dalam komunitas jejaringan sosial seperti kombes.com dapat bertemu dengan teman se-indonesia. Dengan berbagai macam aplikasi untuk berintekrasi secara online seperti : chat room, im chat, forum, sharing video/audio, social bookmarking dll. yang menarik lagi teman-teman di kombes.com sangat ramah dan siap membantu member-member baru yang kesulitan, so pasti cantik-cantik dan guanteng semua lho! Ayo kita ramaikan FacebookNya Indonesia.Di forum kita dapat dengan bebas me-posting dan membuat topik, semua bebas dibicarakan asal jangan bertentangan dengan undang-undang seperti masalah pornografi, Sara, spaming dan sebagainya– admin akan mendelete hal-hal seperti ini dan pasti anda akan di kasih peringatan. Segera dech bergabung dengan FacebookNya Indonesia! Klik disini untuk sign up.

Puisi Nyanyian Angsa – WS Rendra

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.

Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)